Salah satu sebab hambarnya pernikahan dan meningkatnya perceraian adalah para isteri yang tdk lagi melaksanakan kewajibannya, yakni menjadi pendidik utama bagi anak-anaknya dan melayani suaminya.
Di tangan isteri terletak tanggung jawab mendidik anak, bukan di tangan suami. Itulah sebabnya Ismail as tetap bisa menjadi anak sholih walau sering ditinggal bapaknya, Nabi Ibrahim as.
Tugas utama suami bukan mendidik anak tapi mencari nafkah. Bahkan harga diri kepemimpinannya sebagai kepala keluarga disebabkan keterampilannya dalam mencari nafkah.
Selain sebagai pendidik utama anak, istri juga berkewajiban melayani
suaminya. Yang dimaksud melayani suami adalah melayani kebutuhan
seksualnya, bukan melayani dalam arti menyediakan kebutuhan sandang
pangan suami. Bahkan semuanya harus ditinggal jika suaminya minta
dilayani kebutuhan seksualnya. Istri sholihah lebih sibuk berpikir
bagaimana memuaskan kebutuhan seksual suaminya sesuai keinginan suaminya
daripada sibuk mencurigai cinta suaminya.
Isteri yang sholihah juga sedikit membantah dan tidak cerewet menasehati suaminya. Sebab semestinya suami yg harus lbh banyak menasehati istri daripada sebaliknya. Jika suami pendiam, maka istri harus lbh banyak diam lagi untuk menasehati suaminya. Bicaralah yg disukai suami tapi bukan dengan nada menasehati. Sebab suami pada umumnya kurang suka dinasehati isterinya. Yakinlah suami sudah banyak dapat nasehat dari dinamika hidupnya yang keras. Jika ingin menasehati suami, nasehati dgn lembut dan tdk langsung (dengan cerita atau kalimat bertanya).
Renungkanlah hadits berikut: “Wanita-wanita kalian yang menjadi penghuni Surga adalah yang penuh kasih sayang, banyak anak, dan banyak kembali (setia) kepada suaminya yang apabila suaminya marah, ia mendatanginya dan meletakkan tangannya di atas tangan suaminya dan berkata, ‘Aku tidak dapat tidur nyenyak hingga engkau ridha.’” (HR. Thabrani dan Nasa'i).
Isteri yang sholihah juga sedikit membantah dan tidak cerewet menasehati suaminya. Sebab semestinya suami yg harus lbh banyak menasehati istri daripada sebaliknya. Jika suami pendiam, maka istri harus lbh banyak diam lagi untuk menasehati suaminya. Bicaralah yg disukai suami tapi bukan dengan nada menasehati. Sebab suami pada umumnya kurang suka dinasehati isterinya. Yakinlah suami sudah banyak dapat nasehat dari dinamika hidupnya yang keras. Jika ingin menasehati suami, nasehati dgn lembut dan tdk langsung (dengan cerita atau kalimat bertanya).
Renungkanlah hadits berikut: “Wanita-wanita kalian yang menjadi penghuni Surga adalah yang penuh kasih sayang, banyak anak, dan banyak kembali (setia) kepada suaminya yang apabila suaminya marah, ia mendatanginya dan meletakkan tangannya di atas tangan suaminya dan berkata, ‘Aku tidak dapat tidur nyenyak hingga engkau ridha.’” (HR. Thabrani dan Nasa'i).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar